Langsung ke konten utama

Postingan

Klakson

     Dugaanmu cerita singkat ini mendeskripsikan penderitaan hidup di kota dan berakhir begitu-begitu saja. Tunggu. Kau harus baca. Aku akan memulainya dengan antrian panjang kendaraan para pekerja yang ingin segera pulang di lampu merah. Lampu merah yang beberapa waktu setelahnya berubah menjadi hijau tapi antrian tidak bergerak sebab dihentikan polisi dan mobil pejabat yang akan segera lewat dari jalan lainnya. Itu-itu saja? Ya, itu-itu saja. Aku berulang mengalaminya dan merasa kesal tidak dapat melakukan apa-apa. Rasa kesal yang kemudian menjadi berlipat-lipat mengetahui orang-orang juga tidak dapat melakukan apa-apa, atau malah terkesan tidak ingin sebab ekspresi mereka menunjukkan seakan tidak sedang terjadi apa-apa.      Tapi tidak, petang itu. Dari jalan Ciliwung, lampu merah berubah jadi hijau. Antrian kendaraan tidak bergerak, tapi mesinnya menderu-deru. Tiga polisi menghentikannya, mengayun-ayunkan stick berlampu. Jelas mobil pejabat akan lewat. Ambulan yang mengangkut pasie
Postingan terbaru

Jadi, Siapa Yang Sedang Berduka Hari Ini?

     Dulu saya pikir, petang menjadi terasa mencekam ketika seseorang sedang berduka. Saya sedang berduka sejak dua minggu lalu. Dan ya, benar terasa seperti itu.      Maka petang kali ini, sepulang bekerja, saya tidak ingin langsung pulang ke rumah menghampiri sepi. Di seberang pasar burung dekat pemakaman Kembang Kuning, ada warung bakso dan bubur kacang hijau yang lampunya terang sekali. Saya mampir. Ramai. Kendaraan parkir berjajar. Pengunjung antri berdiri. Saya memarkir motor dekat gerobak botol bensin yang berjarak beberapa meter di sebelah warung. Penjaganya nenek tua yang duduk diam dan tidak berekspresi apa-apa. Di warung, penjualnya sibuk membungkus kuah bakso. Belasan. Cekatan. Ia meladeni pembeli sambil bercanda dengan rekannya yang membuatkan bubur kacang hijau. Senyum-senyum, bicara lagi, senyum-senyum lagi. Tangannya tidak berhenti bekerja. Wajahnya kelihatan bahagia. Ah, siapa tahu. Barangkali ia sedang berduka. Sama seperti saya. Orang-orang pintar berpura-pura. Atau

Sidewalk - Stigma (EP): Soundtrack Merindu Yang Memuat Isu Penting Terkait Kesehatan Mental

Dok. Pribadi Sidewalk      Brengsek. Saya merindu. Awal bulan kemarin, Jan Basaj mengirim pesan lewat direct message Instagram. Memberi kabar bahwa dirinya dan rekan-rekan seperjuangan tengah membangun media informasi-pengarsipan independen bertajuk RIR.ABADI (Rekap Irama Rekam-Arsip Basis Digital). Sebagai upaya konkrit melestarikan, menghargai, dan memusatkan distribusi karya musik lokal (Jember) di periodik tertentu, tulisnya. Singkat bla bla bla , beliau meminta saya mengirimkan data album 'Monolog' (album gak nggenah band metal-metalan saya yang diproduksi enam tahun lalu) untuk turut diarsipkan. Otomatis saya mbongkari folder-folder dalam harddisk sambil merindu, mengenang-ngenang. Foto band pakai kemeja kebesaran dan ekspresi wajah dimetal-metalkan, proses rekam dengan tempo guide tidak karu-karuan, berkesempatan main di panggung-panggung hebat yang dipernah diselenggarakan teman-teman hebat. Metal Fest, Rock United, Jember Kickin Ass, Fatal Blasting, Jember Rotten Gro

Fleuro - Dead End Music Video: Amarah-Amarah Itu. Apakah Semuanya Benar-Benar Nyata?

     Di bawah jembatan. Disiram lampu kuning. Ada waria sedang menari. Tariannya buruk. Seadanya. Memang ia tidak bisa menari. Di ruang yang lain, di antah berantah, pengap. Ada laki-laki sedang mengumpati kebosanan, mungkin dirinya sendiri. Di ruang yang lain lagi. Terhimpit gedung-gedung muram warna abu-abu tua yang ditertawakan kota. Ada darah berceceran, dan ada perempuan hamil membawa palu sedang meniti langkah terengah-engah. 4 menit berlalu. Apakah semuanya benar-benar nyata?      Fleuro. Grup musik shoegaze berisik Surabaya ini baru kemarin merilis video klip single perdananya yang bertajuk Dead End. Cul-de-sac , kalau kata Thom Yorke. Digarap sejak Desember tahun lalu oleh sutradara bajingan, Bernardus Raka, bersama kru-kru piawai andalannya. Terhitung singkat proses mereka memvisualisasikan lagu apik mood indie rock 90-an dengan distorsi dan gebukan chinese terus-terusan komplit beserta lirik nelongso yang dinyanyikan merdu mbenging-mbenging oleh vokalisnya itu. I'm al

Aplikasi

       Orang-orang menginginkan mengetahui, bagaimana mereka yang laki-laki menjadi perempuan, bagaimana mereka yang perempuan menjadi laki-laki. Tidak. Bukan membayangkan terlahir dan tumbuh menjadi perempuan, terlahir dan tumbuh menjadi laki-laki. Mereka sekedar menikmati "perempuan" dan "laki-laki" di wajah mereka lewat aplikasi. Tidak payudara, tidak kelaminnya, tidak pengalamannya. Tidak menstruasinya, tidak melahirkannya, tidak olok-olok di depan kelas semasa sekolahnya. "Perempuan" dan "laki-laki" itu hanya kumis, janggut, bulu mata, panjang rambut, warna kulit, hingga rona bibir. Begini. bentuk mata, hidung, telinga, dagu, pipi, tidak berubah. Sama sekali, barangkali. Mereka tetap mengenali wajahnya sendiri. Dan kelaminnya sendiri. Dan pengalamannya sendiri. Yang laki-laki tetap sebagai laki-laki meski menjadi perempuan. Yang perempuan tetap sebagai perempuan meski menjadi laki-laki.      Orang-orang sudah berubah setelah terburu-buru mem

Boneka Lebah di Pusat Perbelanjaan

Saya sedang berjalan terburu-buru menuju kamar mandi sambil menahan kencing ketika seseorang di dalam kostum boneka lebah itu melambaikan tangan. Saya balas lambaiannya dengan senyum dan sedikit anggukan kemudian pertanyaan-pertanyaan panjang ini datang. Jelas saya bukan anak-anak. Umur saya seperempat abad dengan kumis yang tidak tipis dan ekspresi wajah yang tidak lucu. Dan itu kelihatan. Jadi, apakah ia memang ditugaskan untuk melambaikan tangan pada siapapun, termasuk orang dewasa, tidak melulu hanya pada anak-anak? Atau sebenarnya ia tahu saya orang dewasa, tetapi wajah saya dinilainya sedang murung, dianggapnya layak masuk dalam kategori orang dewasa yang sedang tidak bahagia atau spesifiknya sedang mengalami quarter-life crisis , sehingga ia merasa bertanggung jawab membuat saya tersenyum sebentar saja lewat lambaian tangan tersebut? Bahkan pada detik itu, diabaikannya bocah-bocah pencolotan yang mengelilingi kakinya minta perhatian. Ah, saya tidak murung. Saya menahan kencin

Musik: Jan BASAJ, Marah dan Gelisah Seperti Biasanya

Dok. Pribadi Jan BASAJ "Tiada datang masa akhir bagi takdir kaumku yang akan tersingkir Tiada datang masa terang benderang jingglang aku ingin menang Era cilaka dengan konstruksi hari biasanya Inikah harmoni?  Perayaan hari besar proletar dengan anthem berjudul "LAPAR" Aku ingin bercinta agar tetap sadar, tapi bagaimana bisa berdekatan saja dilanggar, tapi kabar kampanye terlaksana secara akbar, BARBAR!  Inikah harmoni?" - HARMONI oleh Jan BASAJ      Pasca pulang kerja dibayar lelah dan kesepian, sempat juga kita dengar satu-dua unggahan nada. Satu "Harmoni", dua "Tiada Suaka di Kota". Ya, penciptanya satu nama dari kota kecil bau sampah, yang tercatat dalam sejarah orang marah dan gelisah, tak lain dan tak bukan, Jan Basaj.      Bagaimana tidak? Sejak masa kita gemar memutar-mutar gelas sloki tengah petang, cerita pengalaman masturbasi, mengepal tangan dan menyanyi, ngobrol politik hingga mendewasa kini jadi penjilat, sesungguhnya kita juga tela

Pulang: Catatan Kecil Tentang Jember

     Kepulangan yang bermaksud mengulang usia muda -memang kehidupan begitu-begitu saja-, tumbuh di kota tua yang tidak pernah berhasil sempurna berpura-pura. Siang mendung. Burung-burung terbang berputar-putar di langit Sultan Agung, Johar Plaza, Pasar Tanjung. Wajah-wajah keriput dan jendela-jendela berdebu tampak lebih murung. Mengingat semalam makan ketan dan minum susu kemanisan di bawah jembatan kemudian membicarakan rencana-rencana yang sebenarnya mereka tahu bakal tak kesampaian.      Rasanya baru kemarin telanjang dan merasa dingin. Digambar pelukis wajah di depan sekolah. Tiga ribu rupiah dapat semangkuk mie ayam, poster film erotis gonta-ganti. Masuk angin, turun tak ingin. Toko ikan neon dan alat pancing masih tetap buka sementara air hujan bulan depan harus mengguyur daun-daun palsu, limbah masker, dan gelas plastik kopi. Menghunjam megatron, spanduk kampanye -ajakan mencuci tangan dengan senyum memuakkan-, dan baliho asuransi. Berapa nomor telepon delivery restoran cepat

Sebelum Sempat Menggambar Sendiri Kota Dan Langit Tengah Malamnya

aku datang dan membaui aroma tubuhmu kau belum lama pergi mengantongi kecewa dalam saku benar kataku malam itu adalah malam tanpa keresahan meski sesekali deru kendaraan merobek sunyi dan memaksa telinganya bersembunyi di bawah kursi kayu tapi, sialan! pagar seng, dari situ ke sana mengkilap, mengkilap memantulkan berkali-kali duka kami segera lupa warna putih, hijau, debu di pintu-pintu lama malam sebelum-sebelumnya aku ingat cangkir mawar apiknya sudah mendingin sementara kau biarkan aku menciumi bibirmu yang beraroma obat kemudian turun ke leher dan pundakmu yang menghangat penjaga warung bilang, bangunan serta kenangan di balik pagar seng itu akan segera ambruk digantikan gerai-gerai dan area makan terbuka *** Warung Kopi di Jalan Trunojoyo Jember, 12 September 2020 20 April 2019 20 April 2019

Buku: Luka Kematian - Marguerite Duras

     "Kau sadar di sinilah hal itu, di dalam dirinya, luka kematian itu tengah timbul, bahwa lekuk tubuh yang terbentang di hadapanmu inilah yang menegaskan luka kematian itu".      Kemudian selesai dalam semalam membaca satu buku, pendek saja tapi benar-benar melambatkan waktu. Luka Kematian (judul asli: The Malady of Death) oleh Marguerite Duras. Kau, tokoh laki-laki,  mengisi beberapa malam bersama ia, tokoh perempuan. Duras menjarakkan diri dari mereka, menjadi aku, orang kedua di luar cerita. Sepertinya tidak ada pagi apalagi siang, hanya menjelang. Tidak berpindah ruang, tidak kehadiran tokoh figuran. Nyaris hampa tanpa suara, kecuali debur ombak laut hitam. Adegan-adegan erotis membalut tragedi "ketidakmampuan mencintai" yang dijelmakan penulis sebagai kematian.      Kau adalah kesepian, keterasingan, rasa bersalah hingga menangis terus-terusan; kematian. Sedang ia -yang beberapa kali menjadi benda secara bahasa, atau ketidakberdayaan (dibolak-balik, diselubu