Dugaanmu cerita singkat ini mendeskripsikan penderitaan hidup di kota dan berakhir begitu-begitu saja. Tunggu. Kau harus baca. Aku akan memulainya dengan antrian panjang kendaraan para pekerja yang ingin segera pulang di lampu merah. Lampu merah yang beberapa waktu setelahnya berubah menjadi hijau tapi antrian tidak bergerak sebab dihentikan polisi dan mobil pejabat yang akan segera lewat dari jalan lainnya. Itu-itu saja? Ya, itu-itu saja. Aku berulang mengalaminya dan merasa kesal tidak dapat melakukan apa-apa. Rasa kesal yang kemudian menjadi berlipat-lipat mengetahui orang-orang juga tidak dapat melakukan apa-apa, atau malah terkesan tidak ingin sebab ekspresi mereka menunjukkan seakan tidak sedang terjadi apa-apa. Tapi tidak, petang itu. Dari jalan Ciliwung, lampu merah berubah jadi hijau. Antrian kendaraan tidak bergerak, tapi mesinnya menderu-deru. Tiga polisi menghentikannya, mengayun-ayunkan stick berlampu. Jelas mobil pejabat akan lewat. Ambulan yang mengangkut pasie
Dulu saya pikir, petang menjadi terasa mencekam ketika seseorang sedang berduka. Saya sedang berduka sejak dua minggu lalu. Dan ya, benar terasa seperti itu. Maka petang kali ini, sepulang bekerja, saya tidak ingin langsung pulang ke rumah menghampiri sepi. Di seberang pasar burung dekat pemakaman Kembang Kuning, ada warung bakso dan bubur kacang hijau yang lampunya terang sekali. Saya mampir. Ramai. Kendaraan parkir berjajar. Pengunjung antri berdiri. Saya memarkir motor dekat gerobak botol bensin yang berjarak beberapa meter di sebelah warung. Penjaganya nenek tua yang duduk diam dan tidak berekspresi apa-apa. Di warung, penjualnya sibuk membungkus kuah bakso. Belasan. Cekatan. Ia meladeni pembeli sambil bercanda dengan rekannya yang membuatkan bubur kacang hijau. Senyum-senyum, bicara lagi, senyum-senyum lagi. Tangannya tidak berhenti bekerja. Wajahnya kelihatan bahagia. Ah, siapa tahu. Barangkali ia sedang berduka. Sama seperti saya. Orang-orang pintar berpura-pura. Atau